Berita tentang video panas mirip artis ramai dibicarakan beberapa hari
ini. Kalangan masyarakat banyak yang menyayangkan mengapa video panas
adegan hubungan seks antara dua insan yang “belum tentu” sudah terikat
dalam perkawinan ini beredar.
Dunia internet di Indonesia yang nyaris tanpa saringan membuat segalanya
dengan mudah tersebar. Video panas tersebut bisa dilihat dengan hanya
mendownloadnya di
situs-situs yang menyediakannya secara gratis atau
dengan menontonnya di situs youtube.com walaupun pada akhirnya ditutup.
Banyak pendapat ahli kemudian bermunculan, dari ahli agama sampai ahli
pendidikan dan perkembangan anak. Semuanya menyesalkan terjadinya
kejadian ini. Sesuatu yang bukan konsumsi publik menjadi terbuka
segamblangnya di media internet yang saat ini sudah merambah ke
desa-desa. Belum lagi kekhawatiran sebagian orang tua tentang anaknya
yang juga bisa menikmati tontonan tak layak usia anak ini. Semua karena
akses internet saat ini begitu mudah.
Berikut penjelasan dr.Andri,SpKJ. Sebagai seorang psikiater saya lebih
menyoroti tentang beberapa istilah yang dipakai di ruang publilk oleh
para ahli. Ada istilah yang kemudian muncul yaitu Scopophilia. Istilah
ini sebenarnya jarang digunakan di dalam ranah ilmu kedokteran jiwa. Di
dalam manual diagnostik gangguan jiwa terbitan The American Psychiatric
Association istilah Voyeurism adalah istilah yang sama dengan
Scopophilia.
Voyeurisme/Scopophilia, Apakah Kita Termasuk Di Dalamnya?
Dalam buku teks Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition (2007) disebutkan bahwa
Voyeurism atau juga dikenal Scopophilia adalah seseorang yang mempunyai
preokupasi (kecenderungan sikap) yang terus menerus secara fantasi
maupun tindakan untuk mengamati (observing) orang-orang yang telanjang
atau sedang melakukan aktifitas seks. Dalam konteks ini terlihat bahwa
ada proses mengamati dan bukan ikut aktif di dalam kegiatan seks
tersebut.
Dahulu semasa kuliah saya ingat betul ada seorang dosen mengatakan bahwa
Voyuerism berasal dari kata Perancis, Voyeur, yang mana istilah ini
merujuk pada suatu kegiatan “mengintip”, “memata-matai (spying)” suatu
kegiatan seksual, membuka baju atau senang mengamati orang telanjang.
Jadi hal ini dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan dari objek yang
dilihatnya. Kondisi ini biasanya didiagnosis setelah berlangsung
sekurangnya 6 bulan.
Tentang apa yang dilakukan oleh pelaku dalam video panas mirip artis ini
sampai saat ini saya belum dapat menemukan kriteria diagnosis yang pas.
Namun yang saya amati adalah bahwa tanpa disadari, kita sendiri menjadi
penasaran dan terus mencari video panas ini, tujuannya untuk melihat
apakah benar apa yang diberitakan media. Tanpa disadari kita juga mulai
melakukan kegiatan yang sekiranya mirip dengan diagnosis gangguan jiwa
voyeurism, mengamati orang lain bersenggama dan bahkan (mungkin) asyik
menikmatinya.
Kita tanpa sadar menuduh orang lain dengan segala macam bentuk gangguan
kejiwaan tanpa sadar bahwa kita sendiri melakukan perbuatan yang
mengarah ke suatu diagnosis gangguan kejiwaan. Semoga kondisi ini bisa
menjadi pelajaran bagi kita semua.
Senada dengan dr.Andri,SpKJ ,ahli psikologi anak dan pendidikan
Universitas Indonesia Lydia Freyani Hawadi mengatakan orang bisa
kecanduan pornografi yang merupakan penyakit psikologi mengkhawatirkan
obsesif kompulsif.
Penyakit ini merupakan keadaan di mana seseorang akan memikirkan sesuatu
secara terus menerus, dan kemudian memiliki keinginan yang tinggi untuk
melakukan hal tersebut. Akibat akhirnya adalah perasaan kecanduan.
“Obsesif kompulsif sangat berbahaya bagi remaja, karena keingintahuan
remaja yang begitu tinggi. Apalagi jika didukung tokoh yang disukai,
mendorong mereka untuk mengkonsumsi video tersebut terus-menerus dan
ditakutkan jika hingga tahap mencoba,” kata psikolog anak ini saat
dihubungi di Jakarta.
Yang ditakutkan dari obsesif kompulsif ini adalah ketidakmampuan
seseorang mengendalikan diri sendiri menyangkut hal tertentu. Misalnya
saja dalam mengkonsumsi video dewasa. Penderitanya juga harus dibawa ke
psikiater untuk proses penyembuhan.
Psikiater dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Dadang Hawari mengatakan kecanduan pornografi tidak hanya berlaku pada
anak-anak. Orang dewasa pun juga bisa terkena.
Namun memori anak dapat cepat menyerap hal-hal baru yang ditemuinya, ibarat handphone yang dapat merekam atau memfoto.
Namun bedanya memori anak tidak bisa dihapus begitu saja, seperti menghapus memori di ponsel.
“Sebenarnya untuk masalah kecanduan porno, bisa diatasi dengan
obat-obatan, namun masih jarang orang tahu akan hal ini, sehingga jarang
orang menggunakan cara ini,” kata Dadang.
Ia menambahkan orang yang sering melihat pornografi akan memiliki
kecenderungan yang melebihi batas. Banyak anak-anak yang sudah terkena
penyakit kelamin di usia masih sangat muda. Selain itu juga mendorong
anak untuk melakukan hal-hal seperti yang mereka lihat, dengan melakukan
pemerkosaan dan seks bebas.
“Contohnya dapat kita lihat dari anak jalanan yang sering jadi korban
pemerkosaan anak jalanan lainnya. Hal itulah yang menyebabkan mengapa
banyak di antara mereka yang sudah terkena penyakit kelamin di usia
muda,” katanya.
Lydia Freyani Hawadi menjelaskan pada diri anak berlaku hukum dampak
atau law of effect. Menurut teori itu tingkah laku seseorang diperkuat
oleh lingkungan berdasarkan tanggapan pihak luar dalam bentuk reward dan
punishment.
Jika anak tidak dikenakan punishment atau hukuman saat menonton video
porno dan menegaskan hal tersebut salah, maka akan terbentuk pola pikir
bahwa tindakan tersebut merupakan sebuah hal yang lumrah.
Begitu pula jika anak dibiarkan untuk menonton video dewasa, maka mereka
akan menganggap sebagai reward. “Kalau mereka dibiarkan sama orangtua,
apalagi jika ternyata orangtua juga sering membicarakan itu atau malah
menyimpan video tersebut, bagi anak ini adalah semacam reward yang akan
mereka biasakan hingga dewasa,” kata Lydia.
Lydia menilai saat ini adalah masa suram. Teknologi sangat mudah
diakses. Berdasarkan data internasional, 85% remaja yang kecanduan seks
telah mengkonsumsi media berbau pornografi sejak usia di bawah 14 tahun.
“Mereka mendapatkan efek dari luar, kemudian muncul rasa pengen,
penasaran, kemudian coba-coba,” tambahnya.
source:suara media(fn/kd
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar